Rabu, 17 Oktober 2012

Membangun Kepribadian Bangsa Berbudaya Buceng Guyub,Memahami Tataran Panembah Ala Kejawen

Posted by Unknown 18.03, under | No comments


DALAM budaya hidup bermasyarakat di tanah Jawa, masyarakatnya sudah tidak asing dengan yang namanya buceng. Buceng juga dikenal dengan nama tumpeng. Dalam ajaran Kejawen senantiasa masyarakat Jawa diajari untuk membaca apa yang ada disekelilingnya. Misalnya, saat mengadakan acara selamatan dengan tumpeng, apa hikmah yang bisa diambil dari acara itu. Bukan malah mengungkapkan dengan komentar negatif tanpa bisa mengambil hikmah di balik sebuah peristiwa.

Membaca, ya...membaca itulah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Hingga muncul kata-kata 'belajar moco urip' (belajar membaca hidup). Hal itu sesuai dengan tuntunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW saat menerima wahyu ayat pertama yaitu Iqra. Dalam ayat tersebut, kata-kata Iqra tadi dibaca hingga 3 kali. Iqra...Iqra...Iqra....(Bacalah...Bacalah...Bacalah). Pertanyaannya? Apa yang harus dibaca? Mengapa kita wajib untuk membaca?

Jawabannya, ternyata yang dibaca bukanlah buku yang sudah ada....tetapi 'buku' kehidupan ini. Kita wajib untuk membaca karena dengan membaca maka manusia akan semakin memahami kekuasaan GUSTI ALLAH. Nah, kali ini kita diajari membaca budaya bangsa lewat selamatan dengan tumpeng. Apa hakekat yang terkandung di dalam sebuah tumpeng tersebut?

Jika Anda berkunjung ke makam sang Proklamator Bung Karno, maka setelah memasuki gapura Anda akan melihat di sebelah kanan ada 'ajaran' untuk membaca sebuah tumpeng dan ternyata lewat tumpeng itulah Bung Karno membangun negara Indonesia ini. Bung Karno yang saat itu ingin memperkuat negara Indonesia mendapatkan ilham lewat buceng guyub (kesatuan tumpeng) bahwa angkatan laut, darat dan udara harus bersatu seperti bersatunya buceng guyub agar Indonesia menjadi sebuah negara yang memiliki angkatan perang yang kuat. 

HAMBANGUN KAPRIBADEN BANGSA KANTHI BUDHAYA BUCENG GUYUB
Oleh: Ki Amang Pramoe Soedirdja
1. Jumbuh kalyan dhawuh para Nabi,
para Wali lan para Bentuah,
Suhada' dalah Gurune
Kang nyebarake ngelmu
Pangerane kang Maha Suci
Meling mring para anak
Trusing putu buyut
Leluhur mulyane mulya
Dudu bandha donya ingkang anganteni
Sowan ngarsa Pangeran

1. Berhubungan dengan petuah para Nabi,
para Wali dan para orang suci,
Suhada'dan para gurunya
yang menyebarkan ilmu
Tuhan yang maha Suci
mengingatkan pada para anak
terus ke cucu dan cicit
dan para leluhur yang dimulyakan
bukan harta dunia yang menanti
menghadap pada Tuhan

2. Pra Leluhur sowan ngarsa Gusti
Luwih mulya nalika anulat
Uripe anak turunne
Kang tansah guyub rukun
Reruntungan tulus ing ati
Tan ana Cecongkrahan
Serta tindak dudu
Tulung - tinulung sapadha
Tinebihna saking niat srei drengki
Luputa ing panandhang

2. Para Leluhur yang menghadap Tuhan
Lebih mulia ketika berdoa
hidup anak keturunannya
agar senantiasa hidup rukun dan bersatu
Bersama-sama tulus dalam hati
Tidak ada yang bertengkar
Serta berperilaku tidak baik
Tolong - menolong sesama
Dijauhkan dari niat iri dan dengki
Dihindarkan dari cobaan

3. Buceng Guyub tansah mengku werdi
Tanda gegayuhanne wong tuwa
Nggayuh guyub nak turunne
Lelambang wohing tuwuh
Tetuwuhan lumahing Bumi
Ana pala kesempar
Uga pala gandul
Pala pendhem uga sarta
Rinakit wujud bebucengan sayekti
Nuwuhke kasantosan

3. Buceng Guyub Selalu memiliki makna
Tanda keinginan orang tua
Mencapai kerukunan anak keturunannya
Sebagai lambang buah yang tumbuh
Tumbuh-tumbuhan yang ada di bumi
Ada buah yang muncul di atas tanah
Ada buah yang menggantung
Ada buah yang tertimbun tanah juga
Dirakit dalam wujud buceng yang sesungguhnya
Melahirkan kesentausaan
4. Ana maneh kudu di sarati
Mawa kurban sato belehan
Kewan darat wujutanne
Tambahan kewan banyu
Beriberan jo nganti kari
Srana ngedohke balak
Raharja jinangkung
Sumber pitu unjukannya
Mundhut saking sumur tangga kanan kering
Nggo rakete bebrayan

4. Ada lagi yang harus menjadi syarat
Dengan hewan kurban yang disembelih
Wujudnya hewan darat
Ditambah hewan air
Hewan yang terbang jangan sampai ketinggalan
Sebagai sarana menjauhkan malapetaka
Dianugerahi keselamatan
Minumannya diambil dari 7 sumber mata air
Diambil dari sumur tetangga kiri-kanan
Untuk mempererat hubungan

5. Panyuwunan kanthi muja - muji
Marang Gusti muga kasembadan
Kepenak urip burine
Upama sugih mbrewu
Dennya golek kudu nastiti
Aja mung angger nabrak
lali saru siku
Elinga marang piwulang
Sapa nandhur bakal ngundhuh tembe mburi
Kuwi lakonne kodrat

5. Permohonan dengan memuja - memuji
Kepada Tuhan agar dikabulkan
Tenteram hidup di belakang hari
Umpama hidupnya kaya
Hendaknya cara mencarinya harus hati-hati
Jangan hanya sekedar menabrak tatanan
Lupa terhadap perilaku yang tidak senonoh
Ingatlah pada ajaran
Siapa yang menanam bakal memetik di kemudian hari
Itu sudah jalannya kodrat

6. Mula tansah paring sembah Gusti
Gusti ingkang akarya jagad
Awujud bebucenganne
Kang aran buceng guyub
Kang kadamel kanggo mranani
Guyube kulawarga
Trusing anak putu
Tangga teparo diundang
Ndoga bareng saperlu melu ngamini
Guyube kasembadan

6. Maka hendaknya selalu menghaturkan sembah pada Tuhan
Tuhan yang menciptakan alam semesta
Dalam wujud bebucengane
Yang disebut buceng guyub
Yang dibuat sebagai pertanda
Guyubnya keluarga
Hingga anak cucu
Tetangga kiri-kanan diundang
Berdoa bersama agar ikut mengamini
Guyubnya dikabulkan.(*)


Sama halnya tataran ilmu yang ada di agama Islam, Kejawen pun juga memiliki tataran panembah. Dalam agama Islam dikenal tataran ilmu seperti syariat, thoriqot, hakekat dan makrifat. Lha bagaimana tataran panembah dalam Kejawen?

Setidaknya kita bisa melihat dari bait-bait serat Wedhatama yang dikarang oleh Sri Mangkunegowo. Dari bait-bait itu, kita bisa belajar tataran syariat itu bisa menyehatkan badan. Dengan badan yang sehat maka dimaksudkan akan mendapatkan ketentraman dan ketenangan hati.

Panembah yang lebih tinggi lagi adalah sembah kalbu. Dengan melakukan sembah kalbu, maka kita akan diberi anugerah oleh GUSTI ALLAH untuk memahami siapa yang mengasuh diri kita mulai sedulur papat hingga guru sejati. 

Panembah kalbu itu tidak perlu berwudhu seperti halnya sembah syariat. Bersucinya adalah dengan hati yang tulus dan ikhlas tanpa 'itung-itungan' dengan GUSTI ALLAH. Artinya tidak lagi memperhitungkan berapa pahala yang akan kita dapatkan... 

* Lire sarengat iku
kena uga ingaran laku
dhingin ajeg kapindone ataberi
pakolehe putraningsun
Nyenyeger badan mrih kaot
Sesungguhnya syariat itu
dapat disebut lelaku, yang bersifat ajeg dan tekun
Anakku, hasil syariat adalah dapat menyegarkan badan
agar lebih baik

* Wong seger badanipun
Otot daging kulit balung sungsum
Tumrah ing rah memarah
Antenging ati
Antenging ati nunungku
Angruwat ruweding batos

Badan, otot, daging, kulit dan tulang sungsumnya menjadi segar,
mempengaruhi darah, membuat tenang di hati.
ketenangan hati membantu
membersihkan kekusutan batin.

*Mangkono mungguh ingsun
Ananging ta sarehne asnafun
Beda beda panduk mandhuming dumadi
Sayekti nora jumbuh
Tekad kang padha linakon

Begitulah menurutku!
Tetapi orang itu berbeda-beda,
Beda pula garis nasib dari Tuhan.
Sebenarnya tidak cocok
Tekad yang pada dijalankan itu

* Nanging ta paksa tutur
Rehne tuwa tuwase mung catur
Bok lumuntur lantaraning reh utami
Sing sapa temen tinemu
Nugraha geming kaprabon
Namun terpaksa memberi nasehat
Karena sudah tua kewajibannya hanya memberi petuah
Siapa tahu dapat lestari menjadi pedoman tingkah laku utama
Barang siapa bersungguh-sungguh
akan mendapatkan anugrah kemuliaan dan kehormatan

* Samengko sembah kalbu
Yen lumintu uga dadi laku
Laku agung kang kagungan Narapati
Patitis tetesing kawruh
Meruhi marang kang momong
Nantinya, sembah kalbu itu
jika berkesinambungan juga menjadi olah spiritual
Olah (spiritual tingkat tinggi yang dimiliki Raja.
Tujuan ajaran ilmu ini; untuk memahami yang mengasuh diri (guru sejati/pancer)

* Sucine tanpa banyu
Mung nyunyuda mring hardaning kalbu
Pambukane tata titi ngati-ati
Atetep telaten atul
Tuladan marang waspaos
Bersucinya tidak menggunakan air
Hanya menahan nafsu di hati
Dimulai dari perilaku yang tertata, teliti dan hati-hati (eling dan waspada)
Teguh, sabar dan tekun,
Semua menjadi watak dasar, Teladan bagi sikap waspada.

* Mring jatining pandulu
Panduk ing ndon dedalan satuhu
Lamun lugu legutaning reh maligi
Lageane tumalawung
Wenganing alam kinaot

Dalam penglihatan yang sejati,
Menggapai sasaran dengan tatacara yang benar
Biarpun sederhana tatalakunya dibutuhkan konsentrasi
Sampai terbiasa mendengar suara sayup-sayup dalam keheningan
Itulah, terbukanya 'alam lain'

* Yen wus kambah kadyeku
Sarat sareh saniskareng laku
Kalakone saka eneng ening eling
Ilanging rasa tumlawung
Kono adiling Hyang Manon
Bila telah mencapai seperti itu,
Syaratnya sabar segala tingkah laku
Berhasilnya dengan cara
Membangun kesadaran, mengheningkan cipta,
pusatkan pikiran kepada energi Tuhan
Dengan hilangnya rasa sayup-sayup, disitulah keadilan Tuhan terjadi. (jiwa memasuki alam ghaib rahasia Tuhan).

* Gagare ngunggar kayun
Tan kayungyun mring ayuning kayun
Bangsa anggit yen ginigit nora dadi
Marma den awas den emut
Mring pamurunging kalakon

Gugurnya jika menuruti kemauan jasad (nafsu)
Tidak suka dengan indahnya kehendak rasa sejati,
Jika merasakan keinginan yang tidak-tidak akan gagal.
Maka awas dan ingatlah

Banyak hal yang bisa kita ambil dari filosofi wayang. Secara tersirat empat sosok Punakawan memiliki arti filosofis yang tinggi. Dalam berbagai cerita di wayang, Punakawan adalah merupakan empat sosok yang memiliki kesetiaan tinggi pada Bendaranya (tuannya). Mereka selalu mengawal kemana pun tuannya pergi.

Sebelum kita membahas mengenai sosok Punakawan, terlebih dulu kita kupas arti dari Punakawan. Kata Punakawan juga bisa disebut Panakawan. Panakawan terdiri dari kata Pana = Memahami; Kawan: Teman. Teman dalam hal ini yang dimaksud adalah teman hidup yang senantiasa mendampingi kita. Secara tersirat, keempat sosok Punakawan itu merupakan gambaran dari pemahaman Kawruh Kejawen, Sedulur Papat, Lima Pancer. 

Keempat sosok Punakawan tersebut sangat terkenal, mereka antara lain Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka digambarkan sangat setia mengawal kemana pun ksatria yang menjadi tuannya pergi. Tuan dari Panakawan yang sering dikawal adalah Arjuna. Umumnya, para Panakawan mengiringi kemana pun Arjuna pergi untuk melakukan tapa brata.

Pertanyaan yang muncul, jika Punakawan/Panakawan digambarkan sebagai Sedulur Papat, lalu siapa makna filosofis bagi ksatria (Arjuna) yang dikawal Punakawan itu? Simbolisasi ksatria adalah diri manusia itu sendiri yang juga disebut Pancer.

Posisi pancer berada di tengah, diapit oleh dua saudara tua (kakang mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi ari-ari dan adi wuragil). Ngelmu sedulur papat lima pancer lahir dari konsep penyadaran akan awal mula manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Awal mula manusia hidup diawali dari saat-saat menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (pancer) lahir dari rahim ibu, yang muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening atau banyu kawah sebagai pelicin untuk melindungi si bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah itu disebut Kakang kawah.

Setelah bayi lahir akan disusul dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi ari-ari dan darah disebut Adi wuragil. Ngelmu sedulur papat lima pancer memberi tekanan bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak sendirian. Ada empat saudara yang mendampingi. Seperti halnya pada agama Islam yang juga dinyatakan di Al Qur'an bahwa "Pada setiap manusia ada penjaga-penjaganya".

Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah raga sejati. Bersatunya suksma sejati dan raga sejati melahirkan sebuah kehidupan. Hubungan antara pancer dan sedulur papat dalam kehidupan, digambarkan dengan seorang sais yang mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah melambangkan energi, semangat, kuda hitam melambangkan kebutuhan biologis, kuda kuning melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais, tentunya tidak mudah mengendalikan empat kuda yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai ke tujuan akhir, Paraning Dumadi.

Dhandhanggula

1. Ana kidung akadang premati, among tuwuh ing kawastanira, nganakaken saciptane, kakang kawah puniku, kang rumeksa ing awak mami, anekakaken sedya, pan kuwasanipun, adhi ari-ari ika, kang mayungi ing laku kuwasaneki, ngenakaken pengarah.

2. Ponang getih ing rahina wengi, angrowangi Allah kang kuwasa andadekaken karsane, puser kuwasanipun, nguyu-uyu sembawa mami, nuruti ing panendha, kuwasanireku, jangkep kadangingsun papat, kalimane pancer wus sawiji, nunggul sawujud ingwang. 

3. Yeku kadangingsun kang umijil, saking margaina sareng samya sadina awor enggone, sekawan kadangingsun, dadiya makdumsarpin sira, wawayangan ing dat reke dadiya kanthi, saparan datan pisah.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...